Rabu, 27 Juli 2011

Rumah Susun vs Program Perbaikan Kampung


Rumah Susun VS Program Perbaikan Kampung
Permasalahan perumahan di Indonesia tidak hanya berkisar pada masalah jumlah dan kualitas, tetapi juga permasalahan sosial seperti bagaimana mempertahankan kearifan sosial dan juga kebersamaan yang ada di kampung-kampung. Di berbagai kota besar di Indonesia hal ini menjadi nilai tambah yang sangat sayang untuk dihilangkan.
Berawal dari diskusi dengan bapak Johan Silas beberapa hari lalu pada acara pasca KKA di jogja. Bapak Johan Silas sangat antusias dalam menggalakkan perbaikan kampung kota sebagai tempat permukiman yang layak huni. Bahkan beliau mengatakan bahwa kampung sudah seharusnya dijadikan daerah konservasi. Perbaikan kampung kota ini dilakukan salah satunya dengan perbaikan akses di dalam dan ke luar kampung sehingga dalam kesehariannya dapat dilewati ambulans namun mobil pribadi tidak diperkenankan untuk melewati jalan kampung tersebut.
Konsep kampung sebagai ‘heritage’ tersebut terlihat sangat baik guna meningkatkan taraf hidup Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) yang bermukim di kampung kota. Konsep tersebut juga seyogyanya mampu mempertahankan kearifan sosial yang ada. Namun bila kita lihat permasalahan permukiman di kota-kota besar adalah tingginya densitas penduduk yang untuk kedepannya sangat memerlukan pembangunan permukiman ‘vertikal’. Kedua konsep ini terlihat sangat berbeda namun masing-masing memiliki niat yang baik, yaitu memberikan hunian bagi MBR.
Kampong Improvement program
Contoh yang diambil adalah program perbaikan kampung yang ada di Surabaya
Kampung Improvement Program (KIP) di Surabaya adalah program peningkatan infrastruktur dan kualitas hunian komunitas. Program ini menyediakan infrastruktur seperti jalan setapak, drainase, pembuangan limbah, toilet publik. Program ini mempengaruhi hampir semua aspek dari komunitas khususnya Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) yang tinggal di kampung-kampung. Implementasi dari KIP di Surabaya dimulai pada tahun 1968. Setelah bertahun-tahun pengalaman pada implementasi KIP di Surabaya, tercatat bahwa program ini tidak akan berhasi tanpa dukungan dan partisipasi dari warga kampung untuk meningkatkan lingkungan mereka sendiri. Partisipasi dari warga kampung meliputi proses perencanaan, implementasi dan evaluasi dari program. Partisipasi aktif dari warga juga akan meningkatkan rasa memiliki dari warga kampung itu sendiri untuk mempertahankan kebersihan dan kesehatan lingkungan. (http://www.togarsilaban.com/2007/03/22/comprehensive-kampung-improvement-program/, diakses 15 mei 2011)
Ada beberapa hambatan dan permasalahan selama implementasi dari program tersebut, antara lain:
a.       Koordinasi antara agensi; meskipun sebuah kelompok kerja terdiri dari agensi-agensi terkait telah dibentuk untuk membantu implementasi program, koordinasi antar agensi tidak mencukupi seperti disebutkan dalam deksripsi kerja kelompok.
b.      Memahami komunitas; diperluan waktu yang lama untuk membentuk pengertian yang baik pada komunitas hingga mereka mengerti tujuan dari program. Meskipun sebuah konsultan pengembangan masyarakat bekerja bersama komunitas tersebut, proses untuk mendapatkan pengertian yang baik sangat memakan waktu.
c.       Kurangnya sumber daya manusia; kualitas dan kapasitas sumber daya manusia yang terlibat dala program sangat bervariasi dari kondisi dasar hingga sangat tinggi. Pada beberapa kasus implementasi program diinterpretasikan pada pengertian yang sangat sempit, sehingga implementasi dapat melenceng jauh dari tujuan aslinya.
Program Rumah Susun “Seribu Tower”
Diketahui rata – rata pertumbuhan penduduk Indonesia adalah 2,5 % per-tahun maka sampai tahun 2025 menurut ahli demografi jumlah penduduk Indonesia akan mencapai dua kalilipat dari jumlah sekarang. Karena itu diperlukan suatu perencanaan jangka panjang kedepan untuk mengantasipasi kebutuhan penduduk akan permukiman atau hunian. Pembangunan yang sedang dijalankan oleh pemerintah lebih didasarkan pada antisipasi lonjakan kebutuhan penduduk akan hunian khususnya di wilayah perkotaan. Sehingga konsep yang dipakai adalah mengembangkan hunian vertikal untuk menghemat lahan yang dibutuhkan.
Dalam program pembangunan rusun “Seribu Tower” konsep awal pembangunannya berbeda dengan konsep rusun yang biasanya yang hanya 5-6 lantai saja. Dalam pembangunan rusun “Seribu Tower” mempunyai konsep baru dimana setiap tower rusun dibangun sebanyak 20 lantai dan berisi sekitar 600 unit rumah. Selain itu setiap tower dilengkapi lift sebanyak 4 buah serta tangga darurat. Dengan begitu rusun tersebut dapat menampung banyak orang ataupun keluarga. Pembangunan Rusun yang dijalankan oleh pemerintah ada dua kategori, yaitu : Rusunami (Rumah susun milik) dan Rusunawa (Rumah susun sewa). Dari segi ukuran pemerintah menetapkan untuk setiap menara rusun koefisien dasar bangunan (KDB) 72 persen dan koefisien lantai bangunan (KLB) lima, dengan saleable area 85 persen. Dengan demikian setiap menara bisa dibangun hingga 20 lantai, mencakup sekitar 600 unit rusun dengan ukuran 21 - 36 m2/unit.
Sasaran pembangunan rusun oleh pemerintah adalah: Jakarta, Medan, Batam, Palembang, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, Banjarmasin dan Makasar. Pembiayaan pembangunan proyek rusun ini didapat dari APBN dan APBD serta swasta. Berdasarkan rencana strategis yang dibuat bahwa proyek pembangunan rumah susun untuk tahun 2007 hingga tahun 2011 membutuhkan dana sebesar Rp 56,889 trilyun selama 5 tahun. sumber dana yang di dapat berasal dari APBN serta APBD sebesar 6,154 trilyun dan juga dari badan usaha serta masyarakat sebesar Rp 50,735 trilyun.
Dari rencana dana yang di buat, porsi terbesar dana APBN dipergunakan untuk dukungan fasilitas subsidi Kredit Pemilikan Rusun yang direncanakan mencapai Rp 4,300 trilyun, serta dengan dana APBD, yang direncanakankan sebesar Rp 1,700 triliun dipergunakan untuk kegiatan fasilitasi dan stimulasi peningkatan kualitas penyediaan prasarana, sarana dan utilitas kawasan perkotaan dan lingkungan rusun. Sisanya sebesar Rp 0,154 trilyun, digunakan untuk mendukungan penciptaan iklim yang kondusif terhadap percepatan pembangunan Rusun. (http://regional.kompasiana.com/2011/01/13/pembiayaan-pembangunan-rumah-susun-program-seribu-tower/ , diakses 15 mei 2011)

KIP VS RUSUN
Masing-masing program bertujuan untuk meningkatkan suplai hunian terutama untuk daerah padat seperti kota-kota besar. Masing-masing program juga memiliki kendala masing-masing dan memiliki kelebihan masing-masing.
Masih dalam diskusi bersama bapak Johan Silas di Jogja, saya sempat mempertanyakan keefektifan program perbaikan kampung pada masa sekarang dan masa depan dimana lahan yang tersedia untuk hunian sangat minim. Beliau menjawab “saya tidak yakin bahwa di kota-kota besar selain jakarta (jakarta memang hal lain, daerah unik) terjadi housing backlock. Sehingga saya yakin program perbaikan kampong masih sangat relevan untuk dilakukan”
Kesimpulannya, setiap daerah sangat unik dan diperlukan pendekatan yang berbeda untuk memecahkan masalah perumahan di daerah tersebut terutama bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Program rumah susun dapat memberikan hunian yang murah dan berkualitas serta program perbaikan kampung dapat memperbaiki kualitas kehidupan kampung kota. Program rumah susun tidak selalu menghilangkan kearifan sosial dalam suatu komunitas dan program perbaikan kampung juga tidak selalu berhasil mempertahankan kearifan sosial.
Permasalahan utama yang harus diperhatikan adalah urbanisasi. Perbaikan fasilitas-fasilitas kota juga memperbesar arus urbanisasi. Untuk itu harus diperhatikan juga penyelarasan pembangunan antara kota dan desa.

Senin, 27 Juni 2011

Manusia Mati Meninggalkan Nama

"Gajah mati meninggalkan gadingnya"
"Manusia mati meninggalkan nama"

sering sekali kita mendengarkan jargon ini bukan, tapi apakah benar - benar pernah kita serap maknanya.
dalam hidup saya, saya tidak pernah memiliki ambisi yang kuat.
ketika kecil, dimana anak-anak lain sering merengek-rengek untuk dibelikan mainan atau semacamnya. saya hanya bergeming. sebagian karena saya tahu bahwa kondisi ekonomi orangtua tidak terlalu baik untuk membelikan saya mainan yang bagus.
ketika sekolah, saya hanya mengerjakan soal-soal ujian dengan harapan cukup untuk naik kelas atau melanjutkan ke tingkat sekolah selanjutnya. bukan untuk diri sendiri !! bukan!!! saya melakukan itu semua tidak lain tidak bukan untuk kepentingan orang tua saya. saya tidak ingin orang tua menanggung malu karena anaknya tidak naik kelas, atau tidak dapat masuk SMU...
lalu ketika kuliah, saya hanya sekedarnya mengikuti perkuliahan dan ujian, tidak pernah terbersit untuk memiliki nilai yang baik, atau ingin memiliki nilai yang lebih baik dari si A atau si B... sekali lagi saya hanya pergi menurut jalur, jalur kesempatan yang ada.
hal ini membentuk pribadi saya menjadi manusia yang tidak pernah berjuang untuk keinginan saya. saya tidak pernah memaksakan kehendak saya. saya hanya memasuki pintu yang telah terbuka, tidak pernah berusaha membuka pintu yang tertutup.

lalu saya memasuki dunia kerja, saya sadar bahwa pribadi saya yang seperti ini tidak mungkin lagi diteruskan. terutama pada dunia yang menuntut saya untuk terus berkarya dan terus belajar. saya tidak bisa menunggu pintu terbuka, saya harus memulai mencari kunci untuk membuka pintu yang tertutup.

saya harus mulai mempunyai ambisi.
saya harus meninggalkan nama sebelum saya mati.